Ini Deretan Ketua Umum Partai yang Tersandung Kasus Korupsi

Ini Deretan Ketua Umum Partai yang Tersandung Kasus Korupsi

PEKANBARU (CELOTEHRIAU.COM) -Romahurmuziy menambah daftar politisi Indonesia yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi.

Dalam kasus ini, Romy diduga sudah menerima uang dengan total Rp 300 juta dari dua pejabat Kementerian Agama di Jawa Timur.

Mereka adalah Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muafaq Wirahadi.

Uang itu diduga sebagai komitmen kepada Romy untuk membantu keduanya agar lolos dalam seleksi jabatan di wilayah Kemenag Jawa Timur.

Romy dianggap mampu memuluskan mereka ikut seleksi karena ia dianggap mampu bekerja sama dengan pihak tertentu di Kemenag. Ia bersama pihak tertentu dinilai mampu memengaruhi hasil seleksi.

Pada waktu itu, Haris melamar posisi Kakanwil Kemenag Jawa Timur. Sementara itu, Muafaq melamar posisi Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik.

Romy yang menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu menjadi ketua umum partai kelima yang dijerat KPK dalam kasus korupsi.

Selain Romy, siapa saja empat ketua umum partai lainnya?

1. Setya Novanto

KPK menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Novanto dianggap memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan e-KTP.

Novanto disebut mengintervensi proyek pengadaan tahun 2011-2013 itu bersama-sama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Novanto yang pada saat itu masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR memengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang.

Ia divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/4/2018).

Novanto juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Selain itu, majelis hakim mewajibkan Novanto membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.

Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.

Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Novanto pun menerima vonis tersebut. Menurut pengacaranya saat itu, Maqdir Ismail, Novanto mendapat informasi bahwa jaksa KPK tidak mengajukan banding.

Kedua, menurut Maqdir, Novanto sudah merasa lelah dengan proses hukum yang dihadapi pada pengadilan tingkat pertama.

Alasan lainnya, menurut Maqdir, Novanto ingin merenung dan berpikir sepenuh perhatian atas kasus yang dihadapinya.

Saat ini ia sedang menjalani hukuman penjaranya di Lapas Sukamiskin. 

2. Anas Urbaningrum

KPK menjerat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi proyek Hambalang.

Ia dianggap menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat masih menjadi anggota DPR.

Sebelum menjadi ketua umum, Anas merupakan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR.

KPK menjerat Anas dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penetapan Anas sebagai tersangka ini melalui surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 22 Februari 2013.

Pengusutan kasus Hambalang berawal dari temuan KPK saat menggeledah kantor Grup Permai, kelompok usaha milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Penggeledahan saat itu dilakukan berkaitan dengan penyidikan kasus suap wisma atlet SEA Games yang menjerat Nazar.

Sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara. Dia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS.

Menurut KPK, uang ini senilai dengan fee proyek yang dikerjakan Grup Permai.

Jaksa KPK menduga Anas dan Nazaruddin bergabung dalam Grup Permai untuk mengumpulkan dana.

Dalam dakwaan, Anas disebut mengeluarkan dana Rp 116,525 miliar dan 5,261 juta dollar AS untuk keperluan pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat saat Kongres Demokrat tahun 2010.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta terhadap mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.

Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.

Anas yang tak menerima putusan tersebut mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI menurunkan masa hukuman penjara menjadi 7 tahun.

Putusan banding menyatakan bahwa Anas tetap dikenakan denda sebesar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia pun menempuh langkah kasasi. Namun, Mahkamah Agung justru menolak kasasi dan memperberat hukuman Anas. Ia harus mendekam di penjara selama 14 tahun.

Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.

Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Saat ini, ia sedang menjalani hukuman penjara di Lapas Sukamiskin.

3. Luthfi Hasan Ishaaq

KPK menetapkan Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera, sebagai tersangka kasus suap terkait pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian.

Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah dianggap terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi.

Uang itu diterima Luthfi ketika masih menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dia dianggap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu.

Luthfi juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR RI 2004-2009 dan setelah tahun tersebut.

Dalam kasus tindak pidana korupsi, jaksa menjelaskan bahwa pemberian uang Rp 1,3 miliar tersebut dilakukan agar Luthfi memengaruhi pejabat Kementan sehingga memberikan rekomendasi atas permintaan tambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 ton yang diajukan PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya.

Pemberian uang ini diserahkan oleh Direktur PT Indoguna Utama Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi melalui Fathanah pada 29 Januari 2013.

Uang itu disebut bagian dari komitmen fee 40 miliar yang dijanjikan kepada Luthfi melalui Fathanah.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan, Luthfi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Ia pun divonis 16 tahun hukuman penjara dan denda Rp 1 miliar. Luthfi sempat mengajukan banding. Namun, ia tetap dihukum 16 tahun penjara berdasarkan putusan banding yang diketok majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Dalam amar putusannya, Majelis hakim PT DKI Jakarta menguatkan putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Pertimbangan hukum yang diambil majelis hakim pengadilan tingkat pertama tersebut dinilai sudah tepat, benar, dan sesuai.

Ia pun menjalani hukuman penjara di Lapas Sukamiskin.

4. Suryadharma Ali

KPK menjerat mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013.

Atas penyalahgunaan wewenangnya, Suryadharma dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Saudi.

Dalam penyelenggaraan haji tersebut, Suryadharma menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji di Arab Saudi.

Mantan Ketua Umum PPP itu juga dianggap memanfaatkan sisa kuota haji nasional dengan tidak berdasarkan prinsip keadilan.

Suryadharma mengakomodasi pula permintaan Komisi VIII DPR untuk memasukkan orang-orang tertentu supaya bisa naik haji gratis dan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) Arab Saudi.

Tak hanya itu, dia juga memasukkan orang-orang dekatnya, termasuk keluarga, ajudan, pengawal pribadi, dan sopir terdakwa ataupun sopir istri terdakwa agar dapat menunaikan ibadah haji secara gratis.

Suryadharma juga dianggap menggunakan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadinya.

Dalam penyelenggaraan haji tahun 2015, Suryadharma meloloskan penawaran penyewaan rumah jemaah haji yang diajukan pengusaha di Arab Saudi, Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin.

Sementara itu, dia tahu bahwa pemondokan tersebut sudah berkali-kali ditolak oleh tim penyewaan perumahan haji.

Sebagai imbalan, Suryadharma menerima kiswah atau kain penutup Ka'bah dari Cholid.

Atas perbuatannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun penjara untuk Suryadharma. Kemudian ia menempuh banding.

Namun, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak permohonan banding tersebut. Pengadilan Tinggi justru memperberat hukuman bagi Suryadharma.

Majelis hakim pada Pengadilan Tinggi (PT) justru menambah hukuman bagi Suryadharma menjadi 10 tahun penjara.

Pengadilan Tinggi juga menambah hukuman berupa pencabutan hak politik Suryadharma selama lima tahun setelah pidana penjara selesai dijalani.

Sementara itu, denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Suryadharma Ali tidak berubah.

Suryadharma Ali sedang menjalani masa hukumannya di Lapas Sukamiskin.

Berita Lainnya

Index