Ritel Melemah di Era Jokowi

Ritel Melemah di Era Jokowi

PEKANBARU(CELOTEHRIAU.COM)- Sederet ritel tercatat menutup lapaknya dalam tiga tahun terakhir, semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini khususnya terjadi sejak 2017 dan masih berlanjut hingga tahun ini. 

Awal mula kisah penutupan ritel terjadi pada PT Modern Internasional Tbk yang memutuskan untuk menutup seluruh gerai ritel 7-Eleven (Sevel) pada Juni 2017. Manajemen saat itu mengungkapkan alasan penutupan disebabkan keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai.

Modern Internasional sebenarnya telah menutup gerai 7-Eleven secara perlahan sejak 2016 sebanyak 25 gerai. Lalu, sebelum perusahaan benar-benar menutup riwayat Sevel di Indonesia, sebanyak 30 gerai ditutup pada Maret 2017.

Namun, penutupan Sevel ini membawa persoalan baru bagi ratusan karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Masalahnya, perusahaan belum berhasil melunasi seluruh uang pesangon bagi mantan karyawan Sevel.

Berkali-kali karyawan demo untuk menuntut haknya tapi hingga kini belum juga terselesaikan. Pada demo terakhir, Rabu (9/1) lalu, Kuasa Hukum eks karyawan Sevel Oktavianus Setiawan yang mewakili ratusan eks karyawan Sevel menjelaskan pihaknya menuntut sisa pesangon sebesar Rp7,2 miliar untuk 162 orang.

Aksi itu tak juga mencerahkan ratusan karyawan karena manajemen tak memberi kepastian. Oktavianus menyebut pihak perusahaan meminta waktu untuk berdiskusi lebih lanjut dengan pihak internal.

"Padahal kalau perusahaan mau bilang berapa, ya kami mau bernegosiasi tidak apa-apa. Yang penting ada kejelasan saja," papar Oktavianus, usai demo saat itu.

Setelah Sevel, giliran PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk yang menutup sekaligus delapan gerainya pada Agustus 2017. Seluruh gerai yang ditutup tersebar di beberapa wilayah, seperti Banjarmasin, Bulukumba, Gresik, Bogor, Pontianak, dan Sabang.

Penutupan itu seiring dengan kondisi keuangan perusahaan yang sedang tertekan. Pada semester I 2017, laba perusahaan sebenarnya tumbuh 45,1 persen dari Rp254,05 miliar pada semester I 2016 menjadi Rp368,77 miliar. Namun, pendapatan perusahaan melambat hanya naik 9,79 persen menjadi Rp3,46 triliun dari Rp3,15 triliun.

Drama penutupan ritel dilanjutkan oleh PT Matahari Department Store Tbk pada akhir September 2017. Namun, ritel dengan kelas lebih tinggi dari Ramayana Department Store ini hanya menutup dua tokonya di kawasan Pasaraya Blok M dan Manggarai.

Miranti Hadisusilo, Sekretaris Perusahaan emiten berkode LPPF itu mengakui keputusan manajemen dilatarbelakangi sepinya pengunjung, sehingga pendapatan toko tak signifikan.

"Ditutup karena mal yang sepi sehingga mengakibatkan kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai target manajemen," ucap Miranti.

Hal ini dianggap keputusan yang menguntungkan perusahaan karena beban biaya yang dikeluarkan untuk operasional dua gerai itu akan berkurang. Sebab, bila perusahaan memaksakan untuk dipertahankan justru berbahaya bagi keuangan.

Selanjutnya, PT Mitra Adiperkasa Tbk ikut menutup gerai Lotus Department Store, Debenhams Indonesia, dan GAP. Untuk Lotus Department Store dan Debenhams Indonesia diutup pada Oktober 2017, sedangkan GAP menyusul bulan depannya.

Kemudian, penutupan berlanjut pada 2018. Jumlahnya bisa dibilang tak sebanyak 2017. Selain itu, ritel yang ditutup mayoritas merupakan merek luar negeri, seperti Clarks, Banana Republic, GAP, dan New Look.

Teranyar, PT Hero Supermarket Tbk dan PT Central Retail Indonesia menutup toko ritelnya pada awal 2019. Hero Supermarket terpaksa menggugurkan 26 gerainya pada Januari 2019, disusul gerai Central Department Store Neo Soho di Grogol milik Central Retail Indonesia pada Februari 2019.
 

Corporate Affairs GM Hero Supermarket Tony Mampuk menjelaskan penutupan itu dilakukan karena beban operasional yang tinggi pada toko-toko tersebut sehingga menyebabkan kerugian yang semakin besar. Sebagai bentuk efisiensi, maka perusahaan mengambil langkah itu.

"Penurunan tersebut disebabkan oleh penjualan pada bisnis makanan (Giant dan Hero) yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu kami mengambil langkah-langkah untuk menjaga keberlangsungan usaha di masa yang akan datang," papar Tony.

Sementara, Public Relations Department Manager Central Retail Indonesia Dimas Wisnu Wardana mengatakan penutupan gerai Central di Neo Soho dilakukan karena perubahan budaya berbelanja masyarakat Indonesia.

Banyaknya gerai ritel yang tutup pun membuat banyak pihak menuding daya beli masyarakat yang kian lesu menjadi penyebab. Namun, hal ini sempat dibantah oleh Joko Widodo maupun para menterinya. 

Pada akhir 2017, Jokowi menyebut tutupnya sejumlah gerai ritel bukan terjadi akibat turunnya daya beli. Penutupan gerai terjadi akibat pergeseran dunia usaha offline menuju online.

Meski kala itu angka pertumbuhan belanja online masih sulit diukur. Namun, ia menyebut sejumlah data, seperti pertumbuhan sektor jasa angkut dan sewa barang yang menujukkan daya beli tak kedodoran.

Berdasarkan data yang dikantonginya, sektor jasa angkut meroket 130 persen hingga akhir September 2017, diikuti sewa gudang yang tumbuh 14,7 persen. Tak cuma itu, Jokowi bilang, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga terkerek 12,14 persen. Artinya, ada indikasi konsumsi masyarakat yang dituding suam-suam kuku tak sepenuhnya benar. 

"Saya menerima angka tersebut. Kalau tidak ada kegiatan ekonomi, maka tidak akan ada angka ini," ungkapnya. 


Penyebab Penutupan

 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan keputusan perusahaan yang menutup tokonya sejak 2017 hingga awal tahun ini karena kebutuhan efisiensi. Mayoritas peritel yang memiliki gerai dengan luasan 5 ribu-6 ribu meter persegi ingin memindahkan tokonya dan membuatnya lebih kecil menjadi hanya 2 ribu-3 ribu meter persegi.

"Jadi yang utamanya karena ada perubahan bisnis model, ditutup untuk mengecilkan luasan," ucap Roy kepada CNNIndonesia.com
Namun, ia tak menampik bila ada pelemahan kemampuan beli masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berada di kelas menengah ke bawah.

"Kalau daya beli melemah seluruhnya tidak ya, seakan-akan daya beli turun semuanya. Kalau untuk kelas menengah ke bawah iya, tapi kelas atas tidak," ujar Roy.

Kendati demikian, menurut dia, saat ini mayoritas penduduk Indonesia masuk dalam golongan kelas menengah ke bawah. Sementara mayoritas masyarakat kelas menengah atas lebih memilih berbelanja di luar negeri. Walhasil, perputaran uang tidak terjadi di Indonesia.

Tak ayal, peritel bukan menambah tokonya, tapi justru banyak menutup atau memindahkan ke lokasi lain untuk mencoba mencari sumber cuan baru. Roy bercerita perlambatan pertumbuhan ritel paling parah terjadi pada 2015 yang hanya 5 persen-6 persen.

Beruntung, tahun berikutnya terjadi pertumbuhan yang signifikan mencapai 7 persen-7,5 persen. Pada 2017, pertumbuhan ritel kembali melambat hanya 6 persen-6,5 persen, sedangkan tahun lalu kinerjanya lebih baik dengan membukukan pertumbuhan 8,5 persen-9 persen.

"2015 ritel memang terpuruk, lalu 2017 apalagi. Tapi 2018 berhasil bangkit karena pemerintah pertama kalinya memberikan tunjangan hari raya (THR) untuk pensiunan, jadi yang biasanya tidak belanja jadi belanja," ucap Roy.

Sementara, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali berpendapat pangkal masalah dari banjirnya penutupan ritel dalam tiga tahun terakhir karena perubahan pergeseran (shifting) pola konsumsi masyarakat terhadap pembelian secara daring (online). Realita ini otomatis menggerus penjualan ritel secara konvensional (offline).

"Shifting ini terjadi sejak 2016, tapi sangat kecil tidak terlihat. Lalu paling terasa itu banyak-banyak 2017," terang Rhenald.

Apalagi, kata Rhenald, harga yang ditawarkan oleh toko daring atau e-commerce biasanya lebih murah. Makanya, banyak masyarakat terlebih kaum milenial beralih ke e-commerce.

"Misalnya ya belanja Rp100 ribu dapat satu kaos di mall, nah di toko daring itu bisa dapat dua sampai tiga. Seperti itu jadi orang pindah," ujar Rhenald.

Sebenarnya peralihan pola konsumsi ini tak hanya melanda Indonesia. Kondisi serupa juga terjadi secara global, seperti Amerika Serikat (AS). Rhenald menyebut dua ritel besar Walmart dan Toys R Us bahkan menutup gerainya pada 2018 kemarin.

"Kalau pola konsumsi sudah beralih ini kan sudah pindah, yang namanya pindah tidak balik lagi, kecuali era nostalgia, hanya sesekali saja," ucap Rhenald.

Di sisi lain, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip memiliki pendapat berbeda. Ia memaparkan penutupan ritel yang dimulai 2017 lalu sejalan dengan perlambatan tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun tersebut. Artinya, kemampuan beli masyarakat pada 2017 memang rendah atau ada masalah daya beli.

"Daya beli turun karena harga komoditas jatuh. Jatuhnya itu sejak kuartal III 2014," tutur Sunarsip.

Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada 2017 hanya tumbuh 4,94 persen. Capaian itu anjlok bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang menyentuh angka 5,01 persen. 

Bila diurutkan lagi sejak 2012, realisasi tingkat konsumsi masyarakat pada 2017 bisa dibilang terendah dalam empat tahun terakhir. Sebenarnya pada 2015 lalu pertumbuhannya juga sempat di bawah 5 persen, tapi masih sedikit lebih baik, yakni 4,96 persen.

Lebih lanjut Sunarsip menjelaskan kejatuhan harga komoditas yang terjadi pada 2014 dan mulai bangkit pada 2017 lalu. Anjloknya harga komoditas membuat pendapatan rata-rata masyarakat yang bekerja di sektor tambang tak naik signifikan, khususnya di Kalimantan dan Sumatra.

"Sumatera dan Kalimantan itu kan daerahnya bergantung sekali dengan sawit, batu bara, dan minyak. Jadi efeknya memang kena banget," ucap Sunarsip.

Sementara, pelemahan nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga mempengaruhi daya beli masyarakat. Maklumlah, Indonesia masih terkenal sebagai negara pengimpor. Dengan begitu, jika rupiah melemah, harga jual produk akan semakin mahal.

"Rupiah kan melemah terus pada 2017 sampai 2018, hampir tidak pernah menguat. Kalau bahan baku banyak yang impor, produsen jadi banyak yang menaikkan harga," papar Sunarsip.

Ia menekankan kondisi ini serta data tingkat konsumsi bisa menjadi bukti turunnya daya beli masyarakat di Indonesia. Jika memang ada peralihan pola konsumsi, Sunarsip meyakini jumlahnya tak besar. Sebab, sejatinya pangsa pasar toko daring masih kalah dengan ritel konvensional.

"Jadi kalau ada peralihan ya tidak besar, ini karena daya beli turun," tegas Sunarsip.

Berita Lainnya

Index