Ramai-ramai Patahkan Argumen Kepala BKN soal TWK KPK

Ramai-ramai Patahkan Argumen Kepala BKN soal TWK KPK

CELOTEH RIAU--Sejumlah pakar membantah dalil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana seputar pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tak meloloskan 75 orang.

Teranyar, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harijanti menyatakan para pegawai KPK tak bisa diberhentikan dalam proses peralihan menjadi ASN.

Menurut Dwi, hal itu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyebut peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh sedikit pun merugikan hak pegawai.

"Seharusnya BKN itu tetap tunduk atau dia tetap mengikuti argumentasi atau pertimbangan hukum MK yang ada pada putusan nomor 70, yaitu tidak boleh merugikan," kata Dwi kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/6).

Bima dalam pernyataannya akhir Mei lalu menyebut definisi 'tak merugikan' itu tak berarti pegawai harus diangkat menjadi ASN. Menurutnya, tak merugikan sesuai putusan MK boleh didefinisikan dengan memberikan hak-hak pegawai sebelum benar-benar nonaktif per 1 November.

Sebanyak 75 pegawai yang tak lolos TWK diketahui akan diberhentikan pada 1 November mendatang.

Terkait hal ini, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah mengajukan uji materi ke MK.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menyebut gugatan dilayangkan terkait perbedaan penafsiran soal definisi "merugikan" tersebut.

Perbedaan yang dimaksud merujuk pernyataan Bima yang menyebut arti tak merugikan bukan berarti harus menjadi ASN.

Menurut Boyamin, pengertian Bima terkait definisi "tak merugikan" telah bertentangan dengan putusan MK yang memerintahkan agar proses alih status tak merugikan para pegawai antirasuah.

Pengertian itu, kata Boyamin, berbeda dengan yang ia pahami, bahwa proses alih status tak boleh memberhentikan pegawai sebab itu sama saja merugikan mereka.

Kecuali, katanya, mereka yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran kode etik berat atau pidana.

Tim ahli yang mengatasnamakan Dewi Keadilan juga membantah pernyataan Bima yang menyebut peralihan pegawai KPK menjadi ASN berdasar pada UU ASN.

Tim ini terdiri dari sejumlah ahli hukum yakni Feri Amsari, Usman Hamid, Laras Susanti, Lalola Easter Kaban, Nanang Farid Syam, Erwin Natosmal Oemar, dan Fadli Ramadhanil.

Menurut Tim Dewi Keadilan, alih status pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam Pasal 69C UU KPK yang baru.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pegawai KPK yang belum menjadi ASN, terhitung sejak undang-undang tersebut berlaku dapat diangkat menjadi PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Ketentuan itu memperjelas bahwa proses 'dapat diangkat' itu tidak diatur sesuai UU ASN tetapi ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri," sebagaimana dikutip dari hasil kajian Tim Dewi Keadilan, 31 Mei lalu.

Menurut mereka, pernyataan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN berdasar pada UU ASN tidak benar karena aturan itu tidak mengenal alih status.

Berita Lainnya

Index