Evaluasi 5 Tahun Kabinet PR Mangkrak HAM Masa Lalu

Evaluasi 5 Tahun Kabinet  PR Mangkrak HAM Masa Lalu

CELOTEH RIAU.COM--Janji Presiden Joko Widodo atau Jokowi di periode pertama tentang penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak terealisasi. Sudah ada upaya, namun pemerintah khususnya Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) belum mampu memuaskan semua pihak.

Komnas HAM pernah memberi rapor merah soal itu pada 2018 lalu. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai tidak ada kemajuan berarti dari upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Nilai merah untuk kasus yang HAM berat. Itu yang paling parah sama sekali tidak ada pergerakan, enggak ada kemajuan," kata  Taufan saat konferensi di Cikini, Jakarta Pusat pada 19 Oktober 2018.

Setidaknya ada 9 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus didesak untuk segera dituntaskan oleh Jokowi-JK.

Di antaranya, pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Aceh sejak 1976, penembakan misterius rentang waktu 1982-1985, Talangsari 1989, penghilangan aktivis dalam rentang 1996-1998, Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II pada 1998, Tragedi Wasior dan Wamena pada 2000, hingga kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004.

Kemenkopolhukam sendiri sudah mengalami tiga kali pergantian menteri sepanjang pemerintahan periode pertama Jokowi. Mulai Tedjo Edhy Purdijatno, Luhut Binsar Pandjaitan, hingga Wiranto. Namun, pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah tuntas diselesaikan.

Janji Jokowi dan Langkah yang Tak Berlanjut

Jokowi berjanji menuntaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu saat berkampanye sebagai capres pada 2014. Rencana itu tercantum dalam Sembilan Agenda Prioritas visi misi Jokowi-JK yang diberikan kepada KPU. Tepatnya pada poin 4 halaman 9.

April 2016, pemerintah mengadakan Simposium Nasional bertajuk Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan. Simposium digelar sebagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM kasus 1965.

Banyak pihak duduk bersama untuk mencari solusi. Baik dari keluarga korban PKI mau pun keturunan Jenderal TNI Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan.

Hasil simposium lalu diberikan kepada Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan untuk ditindaklanjuti sebelum disampaikan kepada Jokowi. Hasil simposium berisi tentang rekomendasi penyelesaian non-yudisial.

Tiga bulan kemudian, Wiranto menjabat Menkopolhukam menggantikan Luhut. Dia langsung membicarakan hasil simposium dengan Agus Widjojo selaku Ketua Panitia Pengarah Simposisum dan juga Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada Agustus 2016.

Agus kala itu mengatakan bahwa pemerintah sudah sepakat mengenai rumusan penyelesaian peristiwa 1965 hasil tindak lanjut dari Simposium. Rumusan itu tinggal diberikan kepada Presiden Jokowi.

Memasuki Februari 2017, Jokowi mengaku telah menginstruksikan Wiranto dan Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu, baik secara yudisial atau pun non-yudisial. Di antaranya, Kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis 1998-1999, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985.

Simposium Tragedi 1965 digelar untuk mengungkap pelanggaran HAM berat 1965-1966 silam, namun tak ada kelanjutannya.

Akan tetapi, tak ada kabar positif seiring waktu berjalan. Kejaksaan Agung mengaku kesulitan mencari fakta, bukti dan saksi. Karenanya, solusi yang akan ditempuh adalah dengan non-yudisial. Berkas lalu dikembalikan kepada Komnas HAM.

Wiranto sendiri seolah tidak mau terlihat lepas tangan. Dia mengamini bahwa masalah HAM masa lalu, khususnya 1965-1966, harus diselesaikan. Namun, tidak dengan jalur yudisial atau hukum.

Menurutnya, itu tidak mungkin karena akan ada klaim salah-benar dari sejumlah pihak yang tidak akan ada habisnya. Wiranto mengatakan itu usai menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur, Minggu (1/10/2017).

Wiranto lalu mengatakan bahwa penyelesaian jalur non-yudisial pun sudah tidak perlu lagi ditagih. Dia mengklaim itu sudah terjadi di masyarakat.

Misalnya, sudah tak ada lagi pelarangan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pegawai negeri sipil. Ia menyebut sentimen negatif sudah luntur.

"Secara non-yudisial dari komponen masyarakat itu sudah terjadi, lalu apa yang diributkan?" tuturnya.

 

Menurutnya, masyarakat Indonesia belum siap untuk rekonsiliasi karena belum memiliki landasan moral yang cukup. Dia menyebut semua pihak yang terlibat dalam peristiwa 1965 sama-sama belum bisa legawa.

Setahun kemudian, Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Agus Widjojo bicara soal rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menyampaikan itu dalam perintahan Hari HAM International di Hotel Royal Kuningan 10 Desember 2018.

"Masyarakat Indonesia sekarang belum siap untuk memasuki rekonsiliasi. Mengapa? Kita belum mempunyai moral high ground," kata Agus.

Pernyataan Agus seolah menjadi penutup soal gonjang-ganjing penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sejak itu, tidak ada lagi kabar positif untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Mangkrak Akibat Faktor Politis

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa Jokowi sempat membawa angin segar ketika berjanji menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu saat kampanye pilpres 2014 lalu.

Namun harapan terus memudar seiring berjalannya waktu. KontraS juga menyoroti sikap Jokowi yang mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam yang juga diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu.

"Penunjukan ini menunjukkan adanya sebuah permufakatan yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Joko Widodo dengan para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga komitmen Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu menjadi sebuah pertanyaan," mengutip catatan evaluasi KontraS.


Berdasarkan catatan Komnas HAM, sejumlah pelanggaran HAM yang diduga pernah dilakukan Wiranto yaitu dalam peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, peristiwa Mei 1998, peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998, serta peristiwa Biak Berdarah.

Wiranto juga, menurut laporan khusus 92 halaman yang dikeluarkan Serious Crimes Unit di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, gagal mencegah kejahatan HAM di Timor Leste.

"KontraS berpendapat bahwa permasalahannya semata-mata adalah pertimbangan politis, ketimbang tafsir yuridis. Beberapa nama yang diduga sebagai pelaku masih menjadi bagian dari jejaring kekuasaan politik yang makin menambah pelik upaya penyelesaian," mengutip catatan evaluasi Kontras.

Menkopolhukam termasuk penyebab penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu mangkrak.

"Dalam konteks masa lalu, nuansa politik kental sehingga ada kendala politik yang dihadapi pemerintah dan Presiden sehingga menyulitkan memilih langkah yang mau diambil," kata Wahyudi saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Jokowi, lanjutnya, perlu menunjukkan kemauan politik dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Langkah yang mungkin bisa diambil adalah membentuk komite ad hoc untuk digunakan di periode kedua.

"Pasca-Pemilu 2019 masih ada tindak lanjut yang bisa diambil dengan membentuk komite ad hoc kepresidenan, sehingga bisa dilanjutkan periode selanjutnya" ujar dia.

Wahyudi juga menyarankan Jokowi tidak lagi memilih sosok yang diduga aktor kasus pelanggaran HAM masa lalu untuk duduk di kursi Menkopolhukam pada periode kedua nanti.

"Harus orang tepat duduk di kabinet sehingga bisa menopang langkah konkret," tutur Wahyudi.

#nasional

Index

Berita Lainnya

Index