Bahaya, Disinformasi dan Ujaran Kebencian Kembali Ancam Pemilu 2024

Bahaya, Disinformasi dan Ujaran Kebencian Kembali Ancam Pemilu 2024
Barang bukti kasus penyebaran informasi mengandung sara dan hoaks diperlihatkan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (28/7/2022). | Republika/Putra M. Akbar

CELOTEHRIAU - Polarisasi pilihan politik yang membelah masyarakat pada Pemilu 2014 dan 2019 dikhawatirkan bakal mencuat lagi menjelang Pemilu 2024. Belum lagi tahapan kampanye resmi dimulai, konten-konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian mulai bermunculan di media sosial.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, konten semacam itu diyakini membahayakan integritas dan keberhasilan pemilu. Bagja menjelaskan, penyebaran konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian di media sosial sebenarnya mulai masif saat Pilkada DKI 2017.

Penyebaran konten dengan tiga aspek tersebut terus berlanjut dan kembali masif saat gelaran Pemilu 2019. "(Saat Pemilu 2019), Bahkan ada kecenderungan juga mengadu teman TNI dan Polri pada titik itu,” kata Bagja dalam acara Diskusi Kelompok Terpumpun Perumusan Ancaman Non-Militer Antar Kementerian/Lembaga di Jakarta, dikutip Jumat (30/6/2023).

Bagja mengakui bahwa konten dengan tiga aspek merusak itu sudah mulai bermunculan saat ini. Sama halnya dengan Pilkada DKI 2017 yang diwarnai konten yang menunjukkan sikap permusuhan kepada ras tertentu, kini unggahan semacam itu kembali bermunculan.

"Sekarang kalau kita lihat, sekarang muncul lagi di media sosial dan juga muncul ujaran kebencian. Sekarang sudah mulai, menyerang beberapa peserta pemilu. Beberapa kali kita baca Twitter, walau kemudian kita baca bahasanya masih lumayan soft, tapi sudah mulai menyerang lawan-lawan politik,” kata Bagja.

Bagja menjelaskan, politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elite melalui artikulasi politik mereka. Sedangkan disinformasi merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik.

Adapun ujaran kebencian adalah pernyataan atau konten yang memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau karakteristik tertentu lainnya.

Menurut Bagja, ketiga aspek itu sangat mungkin berpadu dan semakin masif bertebaran di media sosial saat masa kampanye Pemilu 2024. Menurutnya, hal itu dapat membuat masyarakat tidak nyaman mengikuti Pemilu 2024.

Sebagai upaya antisipasi dan penindakan, Bagja menyatakan Bawaslu telah menyiapkan beberapa strategi. Beberapa di antaranya adalah penguatan regulasi dan hukum terkait peningkatan kapasitas SDM pengawas, penegakan hukum dan sanksi, kampanye edukasi dan sosialisasi, serta kerja sama di ruang digital.

Bawaslu, lanjut dia, juga sudah membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). "Dalam konteks IKP, Bawaslu melakukan penilaian terhadap berbagai hal yang berkaitan apa saja yang kemudian bisa menjadi titik rawan pemilu terutama yang berkaitan dengan isu sosial politik,” ujarnya.

Aturan Kampanye

Sementara, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan yang lebih komprehensif terkait aktivitas kampanye peserta pemilu di media sosial (medsos). Jangan sampai medsos jadi wahana untuk memanipulasi publik pemilih.

Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, meminta KPU mengatur transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu belanja iklan di medsos. Sebab, partai politik dan politisi sudah mulai jor-joran belanja iklan politik di medsos meski masa kampanye belum dimulai.

Berdasarkan laporan Facebook, kata Amalia, sejak 2020, sedikitnya sudah Rp 55 miliar belanja iklan berkaitan dengan sosial politik dikucurkan ke medsos asal Amerika Serikat itu. Sedangkan dalam 90 hari terakhir tahun 2023, juga sudah miliaran rupiah belanja iklan politik yang mengatasnamakan sejumlah politikus kondang dan partai politik di Facebook.

"Sudah banyak sekali uang dikeluarkan di luar masa kampanye (untuk iklan politik di medsos). Iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi," kata Amalia di Jakarta, dikutip Rabu (28/6/2023).

Disebut berbahaya karena iklan politik tanpa aturan bisa digunakan untuk memanipulasi opini publik seperti halnya dilakukan buzzer atau pendengung.

Amalia menjadikan pilpres Amerika Serikat pada 2016 sebagai contoh. Ketika itu, capres dari Partai Republik, Donald Trump berhadapan dengan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Trump keluar sebagai pemenang. Sejumlah media internasional melaporkan, kemenangan Trump dimotori oleh strategi kampanye medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica. Amalia mengatakan, tim kampanye Trump membuat iklan politik manipulatif yang khusus menyasar pemilih Demokrat.

"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat, yang pesannya agar tidak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi. Itu lah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," kata Amalia.

Bukan tidak mungkin politisi di Indonesia meniru strategi Trump. Karena itu, Amalia menyayangkan KPU yang tidak mengatur kampanye medsos hingga ke isu ini.

Regulasi kampanye medsos Pemilu 2024 diketahui hampir sama dengan Pemilu 2019. Perubahan hanya soal jumlah akun medsos yang boleh dimilikinya setiap kandidat di setiap platform, bertambah dari 10 menjadi 20.

Berita Lainnya

Index