Takut Disita KPK, Eks Kepala Kanwil BPN Riau Tarik Deposito Rp2 Miliar

Takut Disita KPK, Eks Kepala Kanwil BPN Riau Tarik Deposito Rp2 Miliar
Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir. Foto: liputan6.com

PEKANBARU - Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, Muhammad Syahrir, menarik deposito sebesar Rp2 miliar dari bank dan menukarkannya ke Dolar Singapura.

Upaya itu dilakukan Syahrir karena takut uangnya disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu diungkapkan Syahril ketika dimintai keterangan sebagai terdakwa kasus suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (25/7/2023).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK, Rio Fandi mencecar Syahrir terkait alasannya melakukan penarikan uang dengan jumlah fantastis di Bank Mandiri Cabang Pekanbaru.

"Saya takut Pak," kata Syahrir di hadapan majelis hakim yang diketuai Dr Salomo Ginting dengan hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama dan Yelmi.

JPU kembali bertanya kenapa Syahrir harus takut. "Saya takut disita KPK Pak," kata Syahrir yang memberikan keterangan secara virtual dengan skema video conference dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK di Jakarta.

JPU kembali mencerca terdakwa, kenapa harus takut kalau memang tidak merasa bersalah. "Terus terang saya ketakutan Pak. Apalagi Bupati Kuansing (Andi Putra, red) saat itu ditangkap OTT KPK," ungkap Syahrir.

JPU lalu menanyakan apakah uang itu dari General Manager (GM) PT Adimulia Agrolestari, Sudarso, karena perusahaannya sedang mengurus perpanjangan izin HGU. Namun Syahrir membantahnya. "Itu bukan uang pemberian Sudarso Pak. Itu uang tabungan saya puluhan tahun," terang Syahrir.

Tidak berhenti sampai di situ, JPU kembali meminta Syahrir untuk mengakui kenapa dirinya takut. "Kalau memang bukan pemberian Sudarso, kenapa terdakwa takut. Kalau uang itu sah, kenapa takut. Kan bisa dibuktikan?" kata JPU.

Menjawab pertanyaan JPU yang bertubi-tubi, Syahrir jadi terpojok dan akhirnya mengaku. "Saya ketakutan, uang yang saya tabung puluhan tahun bisa disita. Memang saya waktu itu belum tersangka," aku Syahrir.

Syahrir menyebut, uang itu disimpannya di bank sebagai persiapan dirinya untuk membuka usaha setelah pensiun. "Untuk buka usaha," ucap Syahrir.

Untuk mencairkan uang deposito Rp2 miliar di bank itu, Syahrir meminta bantuan Haris Kampay, salah seorang pengusaha tempat hiburan karaoke di Kota Pekanbaru. Selanjutnya, Syahrir meminta agar uang itu ditukarkan Haris dalam bentuk Dolar Singapura dengan pecahan 1.000 Dolar Singapura.

Menurut Syahrir, setelah ditukarkan uang itu rencananya akan dibawa ke Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, kampung halaman Syahrir. "Biar tidak terlalu banyak dibawa ke Palembang Pak. Kalau Dolar Singapura kan tipis," ungkap Syahrir.

Uang itu ditukar Haris Kampay dengan uang di brangkas yang disimpan di rumahnya, bukan di money charger. Menurut Syahrir hal itu untuk mempermudah saja. "Sekalian saja Pak. Dia (Haris, red) yang mengambil dan langsung ditukarkan. Lagi pula Haris banyak menyimpan uang Dolar, Pak,"  tutur Syahrir.

Syahrir menjelaskan, kalau uang itu merupakan dari hasil usaha jual-beli mobil. Kemudian, hasil usaha perkebunan karet 4 hektar miliknya, persawahan milik keluarga seluas 8 hektare dan rumah kontrakan di Palembang. "Juga ada uang fee yang saya terima dari perusahaan yang ingin mencari lahan perkebunan. Dari pengurusan itu, saya dapat fee-nya," kata Syahrir.

Keterangan Syahrir tidak begitu saja dipercaya oleh JPU. Untuk meyakinkan, JPU meminta Syahrir menunjukkan bukti-bukti sah penerimaan uang itu. "Kalau buktinya, tidak ada Pak. Jadi tidak bisa saya tunjukkan," jawabnya.

Di persidangan sebelumnya, Haris Kampay juga mengakui menukar uang Rp2 miliar atas suruhan Syahrir. Ia menyebut, uang Dolar disimpan di brankasnya itu berasal dari hasil usaha karaoke, mini market, kos-kosan dan lainnya. 

Sebelumnya, JPU KPK dalam dakwaannya menyebut Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya ketika menjabat Kepala Kanwil BPN Riau dan Kepala Kanwil BPN Maluku Utara. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang  keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat  sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tanah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation. 

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau. Di antaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Di antaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.

JPU menjerat Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 aya (1) KUHP.  

Berita Lainnya

Index