MK Tolak Gugatan Presiden Dua Periode Bisa Jadi Cawapres

MK Tolak Gugatan Presiden Dua Periode Bisa Jadi Cawapres
Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (tengah) membacakan putusan. (ilustrasi)

CELOTEHRIAU - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materil syarat menjadi cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dengan demikian, Presiden yang sudah menjabat dua periode tak bisa lagi menjadi Cawapres.

Permohonan dengan nomor 56/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan oleh Partai Berkarya. Pasal yang dipersoalkan ialah Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan pada Selasa (17/7/2023).

Dalam pertimbangannya, Hakim MK Saldi Isra menjelaskan, jika permohonan ini diterima maka akan membuka kemungkinan seseorang yang pernah menjabat sebagai Presiden selama dua masa jabatan dipilih sebagai Wakil Presiden. Hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional saat Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 harus diterapkan.

"Norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 pada intinya mengatur dan sekaligus memerintahkan jikalau terjadi peristiwa Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya," kata Saldi.

Menurut Saldi, jikalau kondisi tersebut terjadi, maka Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menjadi Presiden selama dua kali masa jabatan/ periode akan menjadi Presiden untuk masa jabatan ketiga. Pada satu sisi, menurutnya situasi ini justru menimbulkan pelanggaran prinsip pembatasan dalam konstitusi yang diatur oleh Pasal 7 UUD 1945.

Di sisi lain apabila Wakil Presiden tersebut tidak diangkat sebagai Presiden maka melanggar kewajiban konstitusional Pasal 8 ayat (1) UUD 1945.

"Sebagai pemaknaan dan sekaligus penafsiran terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang dirumuskan oleh norma undang-undang, norma yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mampu mencegah permasalahan konstitusional tersebut," ujar Saldi.

Dengan demikian, Saldi menegaskan dalil Pemohon bahwa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil tidak beralasan menurut hukum.

"Pembatasan yang diimplementasikan oleh Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bukanlah pembatasan yang inkonstitusional karena merupakan konsekuensi logis dan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak melanggar hak-hak sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum," ucap Saldi.

Sebelumnya, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada Senin (12/6/2023) Partai Berkarya mengujikan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu. Pasal 169 huruf n UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.

Selanjutnya Pasal 227 huruf i UU Pemilu menyatakan, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.

Berita Lainnya

Index