KLHK Bakal Berpihak ke Warga, Jika Ada Bukti Tanah Adat

KLHK Bakal Berpihak ke Warga, Jika Ada Bukti Tanah Adat

CELOTEHRIAU.COM--Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan pihaknya bisa berpihak ke masyarakat dalam konflik agraria jika ada bukti tanah adat.

Hal itu dikatakannya terkait kasus-kasus konflik agraria di kawasan hutan yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan korporasi. Pihaknya menyebut ada dua solusi terkait masalah ini.

"Solusi pertama, kalau tanah adat itu bisa dibuktikan, masalah objeknya, itu biasanya kita berpihak ke masyarakat. Bisa dijadikan hutan adat," ujar Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto, kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/4).

Ini mengacu Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal tersebut menyatakan masyarakat adat yang keberadaannya diakui pemerintah daerah berhak memungut hasil dan mengelola hutan di wilayahnya.

Hingga hari ini, Bambang mengatakan pihaknya sudah menunjuk kawasan hutan adat di 65 lokasi dengan luas mencapai 951 ribu hektare (ha).

Jika tidak memiliki bukti yang kuat soal tanah adat, kata Bambang, masyarakat bisa menempuh jalur solusi perhutanan sosial. Artinya, kawasan hutan tetap milik korporasi, namun warga boleh memanfaatkan hasil tanam di hutan tersebut.

Ia pun menjanjikan kriminalisasi tidak bisa dilakukan selama warga memiliki izin jelas terhadap hak perhutanan sosial.

Terkait banyaknya konflik agraria di daerah, KLHK menyebut UU Kehutanan da Peraturan Menteri Kehutanan P.43/2013 sebenarnya sudah mengatur sejak awal soal pengukuhan lahan hutan itu.

?Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia
Infografis Penyebab Konflik Agraria

Bambang mencontohkannya dengan penunjukan kawasan hutan yang dilakukan lewat inventarisasi lapangan oleh tim terpadu (Timdu). Saat itu, petugas juga harus memperhatikan hak-hak pihak ketiga terkait kepemilikan atau penguasaan lahannya.

"KLHK melakukan tata batas terhadap penunjukan kawasan hutan, dimana ada proses mengeluarkan areal hak-hak pihak ketiga (tanah warga) berdasarkan bukti atas tanah sebelum penunjukan kawasan hutan," ucap Bambang.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2019 Konsorsium Pembaruan Agraria, setidaknya ada 279 konflik agraria dengan luas 734.239,3 hektare. Konflik tersebut melibatkan setidaknya 109.042 kepala keluarga yang tersebar di 420 desa di 34 provinsi Indonesia.

Jumlahnya memang menurun dari tahun sebelumnya, namun eskalasi kekerasan konflik dan jumlah korban yang ditangkap justru bertambah.

Paling tinggi kasusnya terjadi di sektor perkebunan dengan 87 konflik, sektor infrastruktur 83 konflik, properti 46 konflik, pertambangan 24 konflik, kehutanan 20 konflik, fasilitas militer 10 konflik, pesisir dan pulau kecil 6 konflik dan pertanian 3 konflik.

Menengok konflik agraria di sektor kehutanan, sebanyak 17 konflik di kawasan hutan produksi, 16 konflik warga dengan izin Hutan Tanaman Industri dan 1 konflik warga dengan perusahaan pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK).

Awal mula kasus sendiri bervariasi. Mulai dari pembajakan lahan, penguasaan tanah garapan warga oleh korporasi, sampai tumpang tindih kawasan konsesi dan wilayah adat warga.

Menurut laporan tersebut persoalan utama konflik agraria di kawasan hutan disebabkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini mengatur kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjuk kawasan hutan secara sepihak.


"Persoalannya, penunjukan ini tanpa diawali dengan inventarisasi penguasaan riil di lapangan dan kesepakatan batas dengan masyarakat. Jadilah, klaim-klaim kawasan hutan tumpang tindih dengan pemukiman, tanah garapan dan fasilitas umum serta fasilitas sosial penduduk," tulis laporan tersebut.

Salah satu konflik agraria terbaru adalah kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan di Kalimantan Tengah, yakni Dilik Bin Asip (27 tahun) dan Hermanus Bin Bison (35 tahun), serta James Watt Bin Atie (Alm) (47 tahun).

Mereka disangkakan pencurian tandan buah segar (TBS) sawit seberat 4,33 ton yang diklaim milik PT HMBP. Hermanus kemudian meninggal dalam masa penahanan, Minggu (26/4).

Walhi Kalteng menyebut pimpinan korporasi pernah membuat pernyataan soal menyerahkan/memitrakan lahan kepada warga Penyang, Kalteng. Namun, sampai saat ini lahan tersebut ternyata belum juga diserahkan dan masih dikuasai oleh PT. HMBP. Warga yang mengambil hasil kebun pun kemudian dikriminalisasi.

Berita Lainnya

Index