Direktur PT PANN Ungkap Alasan Minta Suntikan Dana Rp 3,76 T

Direktur PT PANN Ungkap Alasan Minta Suntikan Dana Rp 3,76 T
PT PANN

CELOTEH RIAU--Direktur PT PANN  (Persero) Hery Soewandy mengungkap asal muasal alasan kebutuhan penyertaan modal negara (PMN) dalam bentuk  Subsidiary Loan Agreement (SLA) atau konversi utang sebesar Rp3,76 triliun.

Menurut Hery, tergerusnya likuiditas PT PANN bermula dari kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Jerman dan Spanyol pada 1994. Dari kerja sama tersebut, Jerman memberikan pinjaman dalam bentuk pesawat Boeing 737-200 sebanyak 10 unit, sementara Spanyol memberikan 31 unit kapal ikan. 

Nilai pinjaman dalam bentuk pesawat dan kapal ikan tersebut masing-masing sebesar US$89,6 juta dolar US$182 juta dolar.

Masalahnya, kata Hery, transaksi pinjaman dilakukan tanpa memperhatikan bisnis inti yang dijalankan oleh PT PANN.

"Dua dari transaksi ini bukan core business (bisnis inti) PANN. Jujur saja, pesawat kami tidak punya kompetensinya, dan kapal yang kami bisniskan itu adalah sebenarnya kapal armada bukan kapal ikan," terang dia, di Komisi VI DPR, Selasa (14/7).

Akhirnya, PANN menyewakan pesawat tersebut kepada tiga maskapai multinasional, yakni Merpati Air sebanyak 3 unit, Mandala Air sebanyak 2 unit, Borek Air sebanyak 2 unit dan Sempati Air sebanyak 3 unit. Sayangnya, 4 perusahaan ini kolaps tidak pernah bayar sepeser pun ke PANN kecuali merpati cuma angsur sekali.

Padahal, dari pinjaman pesawat senilai US$89,6 juta tersebut, PANN sudah mengeluarkan uang untuk mencicil kurang lebih US$34 juta dolar. "Meskipun tidak diterima hasilkan dari perusahaan penerbangan. Makanya, sampai saat ini kesulitan likuiditas keren tergerus likuiditas," tutur Hery.

Sementara dari proyek kedua, yakni 31 unit kapal, PT PANN hanya mampu menyelesaikan 14 unit kapal.

"Sisanya 17 tidak diselesaikan pembangunannya hingga 31 unit ini mangkrak karena ternyata tidak available yang 14 dijual ke pasar, di mana di pasar kalau kita bandingkan pada saat itu dibuat dalam negeri, harganya Rp22 miliar, sedangkan dari spanyol harganya Rp81 miliar, jadi tidak terjual ke pasar," jelasnya.

Secara total, kedua transaksi ini menggerus likuiditas PT PANN lantaran perusahaan sudah mengeluarkan Rp150 miliar. Antara lain Rp126 miliar untuk eskalasi harga, serta Rp23 miliar untuk biaya administrasi bank.

"Untuk kedua proyek ini, pemerintah menjanjikan modal PANN akan ditambah dari Rp45 miliar menjadi Rp500 miliar, tapi sayang itu tak pernah terealisasikan. Nah, sejak 1994 itu PANN sudah mulai menggerus likuiditasnya dan bahkan sampai habis likuiditasnya dan mulai negatif equity mulai 2004," ucapnya.

Oleh karena itu lah pada 2006 PT PANN meminta Kementerian Keuangan menghentikan bunga pinjaman PT PANN terhadap dua proyek tersebut, sementara pokok utang tetap dibukukan berdasarkan kurs 2006, yakni Rp9.020 per dolar AS.

"Sejak 2006 kami mintakan restrukturisasi dan 2013 baru disetujui restrukturisasi yang diajukan PANN harus ajukan ke Kemenkeu, mengkonversi pinjaman SLA di mana angkanya membengkak US$271 juta, sudah jadi US$461 juta karena bunga dan denda bunga tetap dikenakan kepada PANN. Padahal, aslinya enggak pernah balik dari masing-masing modal tersebut," tuturnya.

Barulah, pada 16 Juli 2019 setelah melalui pembahasan dengan komisi VI DPR PMN  dalam bentuk SLA tersebut disetujui pemerintah. "Ini sudah masuk ke UU nomor 2 2020 begitu juga dalam APBNP-nya masih ada yang di kurs tahun 2019 saat itu adalah utang pokoknya Rp3,76 triliun itu dijadikan pokok," pungkas Hery.

 

#ekbis

Index

Berita Lainnya

Index