Potret Keluarga Islami

Potret Keluarga Islami

Tujuan Pernikahan (Maqashid al-Zawaj)

Di antara hal besar yang layak disukuri dengan hadirnya Islam rahmatan li al-‘alamin adalah bahwa ajaran yang ditularkan adalah “memanusiakan manusia”, menempatkan manusia pada posisi yang mulia yang tidak dibedakan oleh suku, ras maupun status sosialnya. Hadirnya Islam dengan ajaran yang mulia membawa sebuah peradaban baru yang menempatkan manusia dalam sebuah tatanan hidup yang teratur, mewajibkan hal-hal yang mendatangkan kebaikan dan menolak segala bentuk kerusakan dalam semua aspek, termasuk dalam penyaluran hasrat biologis, membangun keluarga dan menjaga nasab keturunan. Dalam mewujudkan nilai yang mulia itu, maka hubungan biologis dan kekerabatan mesti diatur dalam satu ikatan suci yang disebut dengan “pernikahan”. Dalam hal ini Rasulullah bersabda;“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat. (HR. Al-Baihaqi)

Tujuan dari pernikahan bukan hanya sekadar pelepas tuntutan naluri seksual semata, namun juga sebagai sarana mendapatkan kebahagiaan. Di dalam Surat Ar-Rum:21 Allah menyebutkan tiga tujuan yang mendasar dari pernikahan yaitu sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) yang semuanya bermuara dalam satu kata yaitu “bahagia”. Namun demikian, tidak semua pernikahan meraih kebahagiaan, dan jawaban satu-satunya karena rumah tangga tidak lagi dibangun dengan konsep Islam secara totalitas.

Berbicara masalah konsep dasar tujuan berumah tangga, Islam cukup detail menerangkannya melalui al-Qur’an dan telah dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita ingin menyelami makna tiga tujuan pernikahan ini saja, maka ada banyak praktek keharmonisan yang kita dapatkan;

Kata sakinah (ketenagan) terwujud dalam beberapa contoh;

  1. Adanya keterpautan hati yang membuat pasangan suami istri merasa selalu terikat secara perasaan, dan keterpautan itu membuat pasangan tersebut selalu ingin berjumpa karena gejolak rindu.
  2. Adanya kecondongan hati antara suami dan istri, sehingga mereka akan merasa nyaman jika berdekatan, dan selalu gelisah jika berjauhan.
  3. Kenyamanan yang membuat mereka berpikir “aku harus selalu bersamamu”.

Adapun kata mawaddah (cinta) dapat dipahami sebagai berikut;

  1. Sikap pengertian, dimana keduanya memahami kodrat pasangan hidupnya dan selalu berharap kebaikan untuk suami atau istri mereka.
  2. Selalu mengingat dan menjadikan pasangan sebagai buah pikiran, sehingga sulit tergoda meskipun dia berjumpa dengan banyak lawan jenis dalam kesehariannya
  3. Saling terbuka (sikap jujur), sehingga tidak ada hal buruk yang tersimpan di dalam hati, dan itu sangat penting untuk meminimalisir polemik rumah tangga.

Sedangkan Rahmah (kasih dan sayang) dengan segala bentuk pengungkapannya, bersifat materi dan non materi, seperti;

  1. Pemberian materi, berupa nafkah maupun hadiah
  2. Kepedulian yang akan menimbulkan rasa kekawatiran dan selalu tergerak untuk memberikan perhatian satu sama lain.

Detailnya Islam dalam mengatur bagaimana membangun rumah tangga bukan hanya pada tatanan keharmonisan tapi masuk dalam semua aspek. Masalah ekonomi keluarga misalkan, setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban dengan porsinya masing-masing, suami memiliki kewajiban dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tidak dibebankan untuk mengurusi rumah, begitu pula dengan istri memiliki hak terhadap hartanya secara penuh dimana sang suami hanya boleh menggunakannya jika istri mengizinkannya, sehingga dengan demikian semestinya harta tidak akan menjadi pertikaian. Dan bukan hanya sampai pada itu, bahkan nominal kewajiban nafkah bahkan di atur dalam Al-Qur’an, di antaranya Allah memberikan petunjuk

Orang yang mampu (menafkahi) menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut (Al-Baqarah: 236)

Misal lainnya terlihat dalam aturan peran di dalam rumah tangga, dimana suami memiliki tanggungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai hakim yang mengambil keputusan akhir, dan istri menjadi penanggungjawab terhadap isi rumah, dengan demikian tidak lagi tumpang tindih dalam mengemban peran tugas.

Islam menjadikan keluarga ibarat sebuah organisasi kecil yang terstruktur, di sana ada imam, ada sekretaris dan bendahara, di sana juga ada anggota yang wajib patuh kepada keputusan akhir pemimpinnya. Jika semua aturan ini diketahui dan dipahami dengan hikmat, semua orang akan sepakat dalam mengatakan bahwa ajaran agama ini sangat fokus dalam mewujudkan keteraturan hidup pemeluknya dan tujuan akhirnya adalah bahagia dunia dan akhirat.

Keluarga Rasullullah menjadi tauladan

Karakter ajaran Islam bersifat syumul dan kamil al-mutakamil yang bermakna bahwa Islam tidak pernah absen satu aspek pun dalam kehidupan manusia, dan ajaran agama ini akan selalu relevan untuk siapapun dan untuk kapanpun, sehingga semua permasalahan akan mendapatkan solusi Islamiy atau syar’iy. Umat Islam dituntut untuk berpegang kuat pada ajaran ini, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan melalui sabdanya;

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi)

Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membina rumah tangga adalah langkah paling kongkrit untuk mewujudkan pola hidup keluarga Islami yang romantis, karena beliau sebagai manusia berperan sebagai Nabi yang mencontohkan praktek hidup yang benar, selain itu, sejarah banyak mencatat bahwa keluarga beliau sangat bahagia.

Sebagai kepala rumah tangga, secara umum beliau mengatakan;

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan saya adalah orang yang paling baik terhadap keluarga. (HR. Ibnu Majah)

Ungkapan yang sarat nilai ini bukan tidak terbukti. Ada banyak cerita bahwa baginda Rasul selalu berinteraksi bersama keluarganya dengan cinta dan kasih, beliau tidak sungkan untuk minum dan makan satu piring dan satu gelas dengan istrinya. Sebagaimana cerita Bunda Aisyah radhiallahu ‘anha

Aku minum, kemudian aku menyuguhkan minuman itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau meminum dengan meletakkan bibirnya di bekas bibirku.

Rasulullah menjalin interaksi yang sangat baik dengan keluarganya, sering mencairkan suasana dengan senda guraunya, kerap mencium sang istri, dan masyhur ungkapan manja yang ia alamatkan kepada istrinya dengan sebutan “humaira” yang merupakan panggilan sayang, para istrinya juga bercerita bagaimana sang baginda memanjakan mereka, mandi bersama, membantu urusan rumah, dan banyak lainnya yang jika diadukan dengan sinetron drama yang penuh dengan rekayasa sekalipun tidak mampu untuk menandinginya.

Rumah tangga Nabi bukan tidak dilanda masalah, istrinya yang cukup banyak menyibukkannya dalam banyak persoalan, ditambah kecintaan luar biasa para istri memunculkan kecemburuan yang juga mesti diselesaikan, namun satu kata kunci penyelesaian setiap permasalahan keluarga yang beliau hadapi adalah ke’arifannya sebagai kepala keluarga dan kepatuhan para istrinya, sehingga dengan demikian permasalahan selalu mendapat solusi yang bijak, karena para istri beliau juga tidak mau kehilangan suami yang selalu menghargai mereka.

Agar keluarga tetap romantis dan harmonis

  1. Pernikahan harus berorientasi ke ukhrawiy-an

Orientasi ukhrawiy yang dimaksud bahwa pernikahan yang dijalankan selalu berada pada garis keislaman, tidak semata pelampiasan nafsu, sehingga hubungan itu berakhir ketika nafsu tidak lagi membutuhkan, bukan karena harta sehingga hubungan akan kandas ketika kesulitan ekonomi melanda, tapi karena menjalan

Hasrat keduniawian sangat rentan memecahkan biduk rumah tangga, kebahagiaan yang diukur dengan kesenangan duniawi akan membuat rumah tangga tidak pernah sampai ke tujuan tersebut, bukan berarti Islam melarang keinginan dalam memiliki kemewahan-kemewahan, namun bukan menjadi tujuan utama dilangsungkannya pernikahan.

  1. Memahami hakikat dari “akad nikah”

Akad nikah tidak sama dengan akad jual beli yang tujuannya adalah perpindahan kepemilikan. Akad nikah lebih dikenal dengan ijab (penyerahan dari ayah wanita) dan qabul (penerimaan menantu laki-laki). Terjadinya akad berarti terjadi sesuatu yang besar dalam hidup pasangan (mempelai pria dan wanita) ke sah-an akad secara otomatis berlakunya hak dan kewajiban.

Makna tersirat dari ijab qabul sesungguhnya adalah perpindahan tanggungjawab dari mertua ke menantu laki-laki untuk mengurusi anak perempuannya, maka ketika mempelai laki-laki melafazkan qabul-nya, maka berarti ia menerima semua tanggungjawab mertuanya, maka ia wajib menafkahi dan membahagiakan istrinya, begitu pula si wanita yang sebelumnya wajib patuh dan melayani ayahnya, setelah ia diserahkan kepada suaminya maka bertambah tugas lain, yaitu melayani dan patuh kepada suaminya.

  1. Saling Pengertian

Pengertian juga menjadi kata kunci menjaga keharmonisan dan keromantisan suami istri, karena menikah adalah menyatukan dua manusia dengan kodrat yang berbeda, dimana laki-laki punya watak tersendiri dan begitupula sebaliknya.

Memahami sifat kelelakian suami dan memahami kewanitaan istri sangat penting, dan memaksakan pasangan untuk berlaku dan berpikir dengan cara yang sama akan berbuah petaka. Dengan pengertian banyak hal buruk dapat teratasi, karena banyak hal akan terkait, dari segi bahasa saja sudah ada perbedaan.

Istri akan sering mengatakan “kamu tidak pernah, sejak kita menikah, sejak kita kenal” padahal yang dia maksud adalah “sekarang ini”. Ini hanya contoh kecil kodratnya perempuan dalam berbicara, mereka akan mudah mengatakan “semua tidak peduli denganku, padahal dia cuma ingin agar suaminya menyetujui pendapatnya, maka pengertian suami dalam hal ini menjadi sangat penting, begitu juga sebaliknya, ada bahasa suami yang kadang buat istri geram, di antaranya “beres, tidak ada masalah, aman dsb”. Padahal sang istri yang dibutuhkannya kata-kata yang panjang.

  1. Menjalankan peran masing-masing

Suami maupun istri bahkan anak dan siapa saja yang ada dalam rumah punya peran yang berbeda, dan setiap orang tidak boleh memerankan peran lainnya. Suami sebagai kepala maka berperan layaknya sebagai kepala yang mengayomi, sang istri yang juga sebagai ibu menjalankan perannya dalam mengurusi rumah, dan begitupula dengan anggota keluarga lainnya.

  1. Menjalin komunikasi dengan baik

Gaya bahasa sangat penting, seorang laki-laki yang merupakan bos di kantornya tidak boleh mempengaruhi pola bicaranya kepada keluarga, seorang istri pun demikian. Secara umum dalam al-Qur’an kita menemukan beberapa jenis ungkapan dalam menjalin komunikasi, yaitu qawlan ma’rufa (kata yang baik), qawlan karima (kata yang memuliakan), qawlan baligha (kata yang efektif), qawlan layyina (kata yang lembut), qawlan sadida (kata yang benar/ jujur), qawlan maysura (kata yang mudah dipahami).

Lima hal ini tentu sekelumit hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga keharmonisan dan romantisme dalam rumah tangga, namun pada intinya adalah ketulusan hati dan keinginan yang baik.

Angka perceraian yang cukup tinggi disebabkan satu alasan yaitu “tidak bahagia”, dengan segala implikasinya, kata ini menjadi ancaman yang menakutkan dalam mengaruhi bahtera rumah tangga, namun jika ditarik satu kesimpulan, hancurnya rumah tangga karena tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh, dan pondasi itu adalah syari’at Islam, maka membangun rumah pondasinya adalah pengetahuan yang benar dan keinginan untuk menjalankannya

Konsep keluarga bahagia dalam ajaran Islam sudah tuntas, seiring dengan berakhirnya masa kenabian, dan masalah yang tersisa bagi kita sebagai umatnya adalah mempelajarinya dan menjalankannya.

Wallahu A’lam!

Penulis : Muhammad Hanafi Lc, M.sy (NIDN : 2128088602) Dosen Ekonomi Syariah STAI Dinyah Pekanbaru

Berita Lainnya

Index